Semua terasa dekat di depan mataku. Yang tidak tenteram tidak Kau panggil, karena yang tak tenteram tak bisa kembali. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Hanya yang bisa menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya yang diberi hikmah sehingga yang memancar dari dirinya hanyalah kebaikan.

Unggahan Zaman


“Kamu nggak ikut berduyun-duyun menonton police line di desa sebelah, Din?” Seru Rasipin yang setengah berlari mendatangi Rasidin.

“Apanya yang ditonton kok sampai berduyun-duyun? Lagipula, jangankan nonton police line, nonton police tanpa line saja aku malas,” jawab Rasidin.

“Lho, ini bukan police line biasa, bukan police line rumah atau tanah sengketa, bukan pula police line rumah atau tanah disita. Police line yang ini mengelilingi sebuah tempat di mana di situ ditemukan seonggok mayat seorang remaja perempuan yang berdasarkan perkiraan mati dibunuh tiga hari yang lalu. Baunya sudah busuk, jasad sudah tak berbentuk. Sementara pakaiannya, hanya tersisa pakaian dalam. Maksudku, pakaian dalam yang bagian atas. Selebihnya, semua orang, termasuk police tanpa line, diam.”

“Kamu ikut berduyun-duyun tadi? Kamu lihat sendiri apa-apa yang baru saja kau ceritakan?” Selidik Rasidin.

“Tentu saja. Bukankah kamu tahu, berduyun-duyun adalah kegemaranku. Begitu pula dengan melihat mayat, sebab dengan sering-sering melihat mayat, aku akan selalu ingat wujud sejatiku,” jawab Rasipin mencoba meyakinkan Rasidin yang memang sejak lama mengidap penyakit “validitas”.

“Dan masya Allah, Din,” sambung Rasipin, “Begitu melihat salah satu bagian tubuhnya, yaitu bagian tubuh yang konon begitu digemari kaum lelaki, aku terperanjat. Sesuatu yang karena saking menggodanya sehingga tampak begitu menggiurkan ketika masih hidup itu menjadi begitu buruk dan menjijikkan. Oleh itu, tiba-tiba aku teringat Fatonah, penyakit jiwa macam apa yang menghinggapinya sehingga tega merampok bangsanya yang berarti sekaligus merampok dirinya sendiri, hanya demi sesuatu yang buruk dan menjijikkan itu?”

“Buruk dan menjijikkan kan kalau sudah mati, sudah membusuk. Yang diburu Fatonah kan yang masih hidup,” sangkal Rasidin.

“Memang iya, tapi Fatonah masak nggak tahu kalau yang hidup pasti mati, kalau yang menggoda pasti berekor bencana, kalau yang menggiurkan pasti berbungkus kepalsuan?”

“Itu kan pernyataan dari mulut orang asongan macam kita. Kita kan belum merasakan bagaimana rasanya bergelimang uang macam Paman Gober, eh, maksudku seperti Pakde Fatober. Perlu kau catat, jiwa yang hidup tak mungkin menghasilkan gerak Fatonah.”

“Daripada membahas Fatonah,” sambung Rasidin, “mungkin lebih baik kita membahas mayat yang baru kau lihat tadi. Maksudku, apa yang engkau ketahui tentang remaja perempuan itu semasa hidupnya?”

“Anak orang kaya, baru saja lulus SMA, pukul lima sore pamit keluar untuk membayar pulsa kepada teman sekolahnya, sedangkan jalan dari rumahnya menuju rumah temannya adalah mbulak alias kanan-kiri hutan tanpa lampu jalan, pukul sebelas malam belum juga pulang ke rumah, ketika orang tuanya menelpon temannya, katanya pukul sembilan sudah pamit pulang. Temannya menambahkan, si remaja perempuan biasanya “dolan” bersama teman lelakiya ke hotel “Anu”.”

“Bocah lulusan SMA? Malam hari dolan ke hotel bersama teman lelakinya?” Suara Rasidin meninggi, seolah kata “SMA”, “Malam”, “Hotel” dan “Teman Lelaki” itu hantu yang membuatnya ketakutan. Padahal jangankan dengan hantu, dengan Tuhan saja Rasidin berani “bercanda”.

“Ya, itu informasi yang aku dapatkan. Valid-tidak validnya, bukan tanggung jawabku,” jawab Rasipin seakan ketakutan oleh si “validitas” peliharaan Rasidin.

Tidak seperti biasanya, Rasidin memilih diam daripada menjawab tanda tanya-tanda tanyanya sendiri. Setelah agak lama, rasidin justru meminta kesimpulan kepada Rasipin, “Dari segelintir informasi itu, atau setidaknya, dari empat kata yang bagai hantu itu, kesimpulan apa yang kau dapatkan?”

“Remaja perempuan itu mungkin men-download atau mengunduh hasil upload-an atau unggahannya sendiri,” simpul Rasipin.

“Juga hasil unggahan orang tuanya, lingkungannya, dan zamannya,” imbuh Rasidin pada kesimpulan Rasipin.

BP kkb Sambong, 3 Juli 2013 – 12.09

MTA, MTB, MTC, MTD, MTE, dan Seterusnya


“NU tidak salah, Muhammadiyah tidak salah, MTA tidak salah, Syiah tidak salah. Orang bebas mau memilih NU atau NO, memilih Muhammadiyah atau Muhammad Berhadiah, memilih Syiah atau Syial. Bahkan jangankan sekadar memilih MTA, milih  MTB, MTC, sampai MTZ pun tak ada salahnya. Kesalahan baru ada ketika NU, Muhammadiyah, MTA, Syiah, juga yang lain-lain, dianggap sebagai satu-satunya Yang Benar, sehingga karena merasa sebagai satu-satunya, wajib merasa resah ketika muncul sesuatu yang lain. Keresahan kemudian bergeser menjadi kedengkian begitu yang baru muncul itu tiba-tiba berkembang pesat. Dan istilah Moco Terjemah Alquran yang baru saja kau lontarkan itu adalah salah satu bentuk kedengkian yang diam-diam ditanam orang lain di dalam pikiranmu.”

Nafas Rasidin naik-turun. Kalau tidak ingat dengan larangan mengutuk, ia pasti mengutuki dirinya sendiri yang dari dulu hingga sekarang, di sana maupun di sini, selalu berurusan dengan ketidakdilan pikiran. Andai hadits “73 golongan” itu berbentuk HP, sudah ia banting hadist “rasis nan narsis” itu sejak tadi. Tetapi untung cinta Rasidin kepada teman-temannya melebihi cinta Rasidin kepada rokoknya. Sehingga Rasidin hanya perlu memaksakan diri berbicara panjang lebar, dengan shoot on goal sebagai ending-nya.

“Engkau menuduh orang yang tidak berdiri ketika pembacaan puisi barzanji sebagai orang yang tidak menghormati orang lain, sementara engkau sendiri tidak terima ketika kutuduh sebagai orang yang tidak menghormati orang yang tidak berdiri. Ketidakadilan pikiran merk apakah yang sedang kau tawarkan kepadaku ini?”

“Engkau resah dengan siaran radio, dan karena engkau tak bisa bikin siaran radio, siaran radio kau fitnah habis-habisan.”

“Engkau resah melihat ada salah satu tetanggamu yang tidak hadir kenduri, sementara engkau tidak berpikir bahwa tetanggamu juga resah tentang eksistensi kelanjutan hubungan sosialnya di lingkunganmu. Orang yang tidak hadir kenduri kau kucilkan, sementara orang yang berzina kau hormati. Ah, bagaimana kau ini.”

“Engkau merasa beruntung sebagai orang yang membaca kalamullah seusai shalat, dan karena merasa beruntung, engkau merasa berhak menuduh orang yang tidak membaca kalamullah sesuai shalat sebagai orang yang merugi. Tahi sapi yang kau impor dari negara manakah teori untung-rugi semacam ini?”

“Binasanya lagi, setelah segala omonganku tadi, engkau menuduhku sebagai orang yang Moco Terjemah Alquran. Ya, binasa. Karena pikiran yang mati tak bisa dihidupkan lagi. Kecuali Isa putra Maryam, atas izin Tuhan, berkenan melintas di sela-sela kemacetan jalan pikiranmu.”

Cepu, 27 Juni 2013 – 15.39

Mbak Bidan dan Keturunan Sunan Surban


Oleh satu keperluan, Rasidin berangkat menuju Puskesmas terdekat. Tentu saja bukan untuk berobat, karena Rasidin sedang dalam keadaan sehat. Jika pun sakit, daripada meracun tubuhnya sendiri dengan obat, Rasidin memilih untuk mengajak pikirannya bersepakat bahwa sakit adalah salah satu bentuk nikmat. Namanya saja nikmat, ya harus dinikmati.

Untung saja penyakit-penyakit kelas berat enggan bersahabat dengan Rasidin. Atau mungkin penyakit-penyakit kelas berat itu tahu bahwa Rasidin tidak punya banyak uang untuk meladeni “mereka”. Sudah tak punya banyak uang, tidak mau “bikin” ASKES, demikian kira-kira gerutuan “mereka”.

Untungnya lagi, Rasidin termasuk jenis manusia yang siap “diedit”. Sehingga, Rasidin akan tidak merasa sungkan untuk merevisi pilihan sikapnya terhadap obat andai yang datang adalah penyakit kelas berat. Tapi ya itu, para editor manusia Rasidin juga harus siap untuk terlibat dalam debat ketat berbasis akal sehat.

Delapan belas lembar surat tugas dan delapan belas lembar kuitansi menyertai keberangkatan Rasidin ke Puskesmas. Semestinya Rasidin hanya tinggal mengambil berkas-berkas itu dari Puskesmas. Tapi begitulah Rasidin, seakan digariskan untuk selalu mengalah. Mengalah adalah meng-Allah, demikian jawab Rasidin jika ada beberapa temannya yang tidak rela melihat Rasidin dikalahkan. Lagipula, sambung Rasidin kepada temannya, aku sudah pernah merasakan kekalahan yang jauh lebih besar daripada sekadar membuat surat tugas dan kuitansi yang cuma beberapa lembar. Dan aku tetap meng-Allah.

Urusan surat tugas dan kuitansi sudah selesai. Rasidin pamit pergi. Beberapa langkah menuju sepeda motornya, seorang bidan yang belum dikenal Rasidin menahan langkahnya, “Din, kalau mengambil “barang” mbok ya sedikit dilebihkan, nanti kelebihannya saya tampung, sehingga kita bisa saling mendapat untung.”

Saling mendapat untung? Rasidin bergumam. Rasidin seperti mendadak terserang demam.

“Maaf, Mbak. Mbak-nya bidan desa mana? Tanya Rasidin di sela-sela perjuangannya melawan “demam internalnya”.

“Saya bidan Jawa Timur, tapi kan bukan masalah, tho, wong yang lain-lain juga begitu,” jawab Mbak Bidan.

Ini Jawa Tengah, Bung, eh, Mbak. Bukan Jawa Timur. Bentak Rasidin dalam hati. Jangankan kepada yang Jawa Timur, kepada yang Jawa Tengah saja Rasidin ogah berbagi bencana yang oleh si Mbak Bidan tadi disebut sebagai keuntungan.

“Bukannya saya tidak bisa melebih-lebihkan, Mbak. Saya hanya tidak mau. Tidak enak sama Tuhan. Apa kata Tuhan nanti kepada saya. Masak sudah dikasih jadi PNS gratisan masih minta tambahan dari “barang-barang” yang sebenarnya gratisan itu.”

Paragraf di atas paragraf ini adalah jawaban Rasidin yang telah dimodiifikasi. Adapun jawaban Rasidin yang asli sengaja tidak dicantumkan di sini karena Rasidin tidak berkenan jawabannya yang asli disebarluaskan. Kuatir orang-orang nanti mengira Rasidin keturunan Sunan Kalijaga. Maka terpaksa yang disebarluaskan lewat tulisan ini jawaban bergaya Sunan Giri. Tentu saja agar orang-orang mengira Rasidin keturunan Sunan Giri dan bukannya keturunan Sunan Kalijaga. Padahal jelas Rasidin itu bukan keturunan kedua manusia unggul tersebut, melainkan keturunan Sunan Surban.

Sunan itu bentuk jamak dari sunnah. Surban itu kependekan dari kasur dan bantal. Jadi, Rasidin adalah keturunan hasil dari dua orang yang mengerjakan ibadah sunnah berjamaah yang masjidnya kasur dan sajadahnya bantal.

Sedangkan si Mbak Bidan, mungkin sama-sama keturunan Sunan Surban, hanya saja warna surbannya berbeda.

BP kkb Sambong, 26 Juni 2013 – 12.16

Komedi Informasi dari Desa Gagakan


Kata seseorang, informasi adalah cahaya. Buktinya, kata orang itu, bukankah Alquran adalah sekumpulan informasi?

Sebagaimana setiap orang berkemungkinan benar dan berkemungkinan salah, juga berkemungkinan ada benarnya dan berkemungkinan ada salahnya, begitu pula dengan orang yang bilang bahwa informasi adalah cahaya: ia mungkin ada salahnya, atau bahkan mungkin benar-benar salah.

Pada suatu senja, salah satu stasiun televisi, lewat acara Orang Pinggiran, menginformasikan bahwa di desa Gagakan, yaitu satu dari sepuluh desa yang ada di wilayah Kecamatan Sambong Kabupaten Blora, ada sebuah keluarga yang menderita kemiskinan sedemikian parahnya. Saking parahnya kemiskinan itu, informasi tersebut sampai perlu disertai dengan gambar bergerak kehidupan sehari-hari keluarga tersebut. Tentu saja gambar bergerak itu berupa rupa-rupa output kemiskinan keluarga tersebut.

Pemirsa acara yang jauh dari desa Gagakan mungkin akan trenyuh atau jatuh kasihan melihat kemiskinan tingkat parah yang dipentaskan oleh keluarga tersebut. Bagaimanapun, kapanpun, dan di manapun, kecuali hati yang tak lagi bulat dan utuh, kemiskinan merupakan keadaan yang hati siapapun pasti tersentuh. Setidaknya pasti ada komentar, “Masak ya masih ada orang yang hidup sebegitu menderitanya pada zaman yang sebegini asyiknya.”

Itulah hebatnya televisi: kuasa memobilisasi, bahkan mempesawatterbangi. Keluarga yang baru saja membeli sebidang tanah cukup lapang dan memiliki dua buah sepeda motor, dalam waktu singkat bisa disulap menjadi keluarga prasejahtera alias keluarga sangat miskin sekali. Persis seperti pertunjukan komedi yang pemainnya bisa berganti peran menjadi apa saja, termasuk menjadi banci atau waria. Yang penting lucu. Tak soal apakah kelucuan itu bersifat menghibur atau justru berkarakter penghancur.

Kelucuan yang lain, komedi informasi tersebut, berdasarkan informasi dari Sekdes yang bersangkutan, tak lepas dari peran Bayan Desa yang, entah kebetulan entah tidak kebetulan, rumahnya berhadapan dengan rumah keluarga yang ditampilkan di acara Orang Pinggiran. Sehingga muncul dugaan kalau dalam hal itu, Bayan mempunyai kepentingan di sektor pembagian keuntungan.

Dugaan lain, kru Orang Pinggiran dikejar deadline jam tayang sehingga terpaksa mengambil jalan pintas nan tak pantas dengan cara memantas-mantaskan kemudian mementaskan orang tak miskin sebagai orang miskin di hadapan jutaan mata manusia. Dugaan ini sama kuatnya dengan dugaan terakhir: acara Orang Pinggiran adalah acara yang seluruhnya dagelan, mulai dari proses pemilihan tokohnya, proses pembuatan skenario dan naskahnya, hingga proses pementasannya. Komedi informasi mencapai peak perfomance-nya ketika “lagu kebangsaan” Orang Pinggiran diberi hiasan “Tuhan kan berikan jalan ...”

Kalau sudah seperti itu, cahayakah informasi yang "diwahyukan” oleh stasiun televisi lewat “malaikat” Orang Pinggiran itu?

Cepu, 12 Juni 2013 – 17.35

Kapak Memori


Dua tumpuk hujan
Dan tetes-tetes huruf koran
Serta senja yang sendirian

Tak ada secangkir kopi
Sebab tak ada sepercik api
Pada senja yang sepi

Hanya bunyi:
Humanity
Insanity

Sayap-sayap memori
Bagai kapak menyabet ke kanan dan kiri
Jiwa melayang ke sana kemari

Mata menatap benda
Ataukah benda menabrak mata
Oh: mata dan benda adalah buku yang sama tapi beda edisi

Kamar di dalam rumah
Ataukah kamar mewadahi rumah
Oh: langit dan bumi bersama-sama dipangku kursi

Jasad di dalam jiwa
Jiwa di dalam nyawa
Oh: sumber cahaya ternyata mata

Manusia di dalam mata
Mata di dalam jiwa
Jiwa memangku kursi

BP KKB Sambong, 10 Juni 2013 – 12.49
Template by Clairvo Yance
Copyright © 2013 KapaBilitaS and Blogger Themes.